Keindahan alam semesta telah lama mempesona manusia. Begitu
pula keteraturan serta misteri yang menyertainya membuat manusia selalu merasa
tidak puas untuk menggali rahasia lebih dalam darinya. Bahkan, bagi sebagian
orang misteri alam semesta adalah teka-teki dengan kebenaran dari Tuhan YME.
Jika kita mengamati langit, semua benda selalu kelihatan
tetap penampakannya. Benda-benda tersebut (Matahari, planet-planet atau
bintang-bintang) selalu terlihat konsisten penampakannya, paling tidak dalam
batas-batas ketajaman mata manusia. Akan tetapi, ada satu benda langit yang
selalu berubah penampakannya. Dari zaman dahulu, orang melihat benda ini selalu
berubah secara periodik. Kita bisa melihat benda ini pada langit malam dengan
sinarnya yang paling terang diantara benda-benda langit lainnya. Benda yang
dimaksud adalah Bulan.
Bulan yang selalu berubah penampakannya dari hari ke hari
membuatnya menjadi simbol irama kehidupan. Hidup yang dimulai dari kelahiran,
diikuti dengan masa dewasa dan kematian direpresentasikan oleh fase-fase Bulan.
Karena keteraturannya itulah, periodesitas perubahan fase Bulan dijadikan
sebagai standar pengukur waktu sejak zaman dahulu. Salah satu wujudnya sebagai
alat ukur kita mengenal sistem penanggalan Islam atau kalender Hijriah.
Bulan mengorbit Bumi dengan periode 27.3 hari yang kemudian
dinamakan dengan periode sideris. Dalam hubungannya dengan Bulan (termasuk juga
dengan planet-planet lainnya), ada satu periode lain yang berhubungan dengan
kedudukan relatif Bulan dengan Bumi dan
Matahari. Periode ini dinamakan periode sinokdis. Periode sinokdis menunjukkan
selang waktu yang dibutuhkan Bulan untuk mencapai dua fase yang sama secara
berturut-turut, misalnya dari fase Bulan sabit kembali lagi pada fase Bulan
sabit berikutnya. Satu periode sinokdis berlangsung selama waktu 29.5 hari.
Periode inilah yang paling banyak berpengaruh pada kehidupan manusia.
Ketika hari memasuki hitungan ke 7 dalam sistem penanggalan
yang mengacu lunar system, kita bisa melihat permukaan Bulan yang
disinari Matahari semakin banyak. Keadaan seperti ini disebut bulan bungkuk. Selanjutnya,
sekitar tanggal 14 posisi Bumi berada diantara Bulan dan Matahari. Pada posisi
seperti inilah Bulan bersinar penuh karena Bulan persis berada di belakang Bumi
apabila dilihat dari Matahari. Kedudukan seperti ini disebut fase bulan
purnama. Dan setelah itu, perlahan bagian Bulan yang terlihat dari Bumi semakin
berkurang hingga kembali lagi pada fase Bulan sabit seperti keadaan semula.
Diantara hal yang
spektakuler dalam kaitan Bumi dengan Bulan adalah gerhana, baik gerhana Bulan
maupun Matahari. Bagi para pecinta ilmu Falak dan Astronomi, peristiwa alam
seperti ini merupakan waktu yang tepat untuk mengamati keindahan ciptaan Tuhan.
Satu hal lagi yang berkaitan dengan fase Bulan adalah purnama. Fase ini
merupakan waktu yang tepat untuk mengamati permukaan Bulan dengan teropong dan mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai permukaan Bulan.
Selain gerhana Bulan, salah satu peristiwa langka yang terjadi
dalam fase Bulan purnama adalah fenomena Bulan Biru (blue moon).
Tidak banyak masyarakat yang mengetahui makna sebenarnya fenomena Bulan biru,
bahkan seringkali masyarakat salah memahami. Fenomena Bulan biru merupakan
salah satu fenomena Astronomi yang langka dan sering menarik perhatian media.
Banyak ilmuwan yang menulisnya di jurnal-jurnal ilmiah dan berbagai media
cetak.
Secara harfiah, Blue Moon berarti bulan biru. Secara umum
orang mengartikan bahwa bulan biru adalah Bulan yang muncul dengan penampakkan
warna biru atau kebiru-biruan. Fenomena ini menjadi salah satu fenomena langka
yang menarik bagi manusia karena Bulan muncul dengan warna cahaya yang langka.
Tidak seperti biasanya yang bersinar dengan warna putih atau kuning keemasan.
Warna biru yang terdapat pada bulan perlu dipahami bukan
warna yang sebenarnya atau bulan telah berubah warna menjadi biru dan
meninggalkan warna biasanya yang berupa kuning keemasan. Warna biru pada Bulan
kita pahami sebagai perubahan warna dalam keterbatasan pandangan mata manusia
sehingga yang muncul adalah warna biru. Terpengaruhnya pandangan mata manusia
hingga seakan-akan melihat bulan berwarna biru disebabkan oleh fenomena alam
lainnya. Fenomena bulan tampak kebiru-biruan merupakan salah satu fenomena alam
yang disebabkan oleh asap atau partikel debu di atmosfer. Fenomena ini sama
sekali tak ada kaitannya dengan siklus/perputaran Bulan, baik rotasi maupun
revolusi.
Fenomena bulan tampak kebiruan disebabkan penghamburan cahaya
Matahari oleh ozon. Dalam situs NASA disebutkan bahwa Bulan yang tampak biru
disebabkan oleh adanya partikel yang lebih besar dari panjang gelombang warna
merah (0,7 mikron). Selain karena letusan gunung berapi, fenomena Bulan tampak
kebiruan juga dapat disebabkan oleh kebakaran hutan. Abu dari sisa kebakaran
dapat terlempar ke udara oleh angin hingga menutupi cahaya Bulan. Demikian juga
dengan asap kebakaran yang mengepul di udara.
Contoh paling konkret dari fenomena Bulan tampak
kebiru-biruan adalah seperti yang terjadi setelah kebakaran hutan di Swedia dan
Kanada pada tahun 1950 dan 1951. Peristiwa lainnya orang-orang melihat bulan tampak
kebiru-biruan pada tahun 1983 setelah letusan gunung berapi El Chichon di
Meksiko. Ada pula laporan yang menyakan bahwa bulan tampak biru yang disebabkan
oleh letusan gunung St Helens pada tahun 1980 dan gunung Pinatubo di Filipina pada
tahun 1991.
Di Indonesia sendiri, fenomena Bulan berwarna biru pernah
terjadi, yaitu ketika gunung Krakatau di selat Sunda meletus pada tahun 1883
dan menggemparkan dunia. Akibat letusan Krakatau ini, selama dua tahun Bulan
muncul dengan warna biru, baik saat terjadi gerhana, Bulan dalam fase sabit,
bungkuk maupun purnama. Fenomena ini pun bisa dilihat dari seluruh dunia saat
itu.
Blue Moon sebuah Kiasan
Istilah blue Moon yang sebenarnya bukanlah
fenomena dimana Bulan tampil dengan semburat warna biru. Ada dua definisi yang
berhubungan dengan dengan istilah Bulan biru (blue Moon). Menurut definisi yang
terbaru, Bulan biru adalah Bulan purnama kedua dalam satu bulan kalender Masehi.
Fenomena Bulan biru bisa terjadi apabila Bulan purnama pertama terjadi pada
awal bulan kalender (Masehi), sehingga Bulan purnama kedua terjadi dalam bulan
kalender yang sama karena rentang rata-rata antara dua bulan adalah 29.5 hari. Definisi
lain yang lebih dahulu tercatat dalam Almanak Petani Maine (Maine Farmers’
Almanac), USA. Almanak tersebut menyatakan bahwa fenomena Bulan biru adalah
Bulan purnama ketiga dalam musim yang memiliki empat bulan purnama.
Dalam budaya masyarakat Barat, istilah blue Moon merupakan
sebuah idiom yang telah berkembang lama. Dengan melihat kembali literatur awal
yang digunakan dalam refrensi Barat mengenai istilah blue Moon, kita bisa
memahaminya melalui ungkapan yang absurd. Empat ratus tahun yang lalu jika
seseorang mengatakan, “Dia akan berpendapat bahwa Bulan adalah biru”, rata-rata
orang pada abad XVI akan memahami, “Dia berpendapat bahwa hitam adalah putih”.
Dari ungkapan ini dapat dipahami bahwa “Blue Moon” dalam ungkapan masyarakat
Barat terdahulu bermakna tidak pernah. Ungkapan yang sangat familiar di Barat
adalah “Once in Blue Moon” (sekali dalam Bulan biru). Dari sini kita
tahu bahwa istilah Bulan biru hanyalah menunjukkan sebuah kiasan terhadap
jarangnya suatu kejadian. Dengan arti bahwa peristiwa dua purnama dalam satu
bulan Masehi sangat jarang terjadi.
Dalam catatan sejarah Bulan Biru pernah terjadi
pada tanggal 31 Juli 2004, 31 Desember 2009 dan terakhir 31 Agustus 2012. Bulan
Biru biasanya terjadi setiap 2,5 tahun dan hanya sekali dalam setahun. Namun,
dalam periode 19 tahun sekali, Bulan Biru bisa terjadi dua kali dalam setahun.
Pada 1999, misalnya, Bulan biru terjadi pada bulan Januari dan Maret. Fenomena Bulan biru tidak akan terjadi pada bulan
Februari karena jumlah harinya yang hanya 28 atau 29 hari pada tahun kabisat.
Fenomena Bulan biru ini sangat mungkin terjadi karena periode
revolusi Bulan terhadap Bumi kurang dari satu bulan Masehi. Dalam kalender Hijriah, satu siklus rata-rata lunar
(satu bulan sinokdis) adalah 29.53 hari. Sedangkan dalam satu tahun Masehi ada
sekitar 365.25 hari. Sehingga dalam satu tahun Masehi ada sekitar 12.37 kitaran
Bulan/lunation (365.25 hari dibagi 29.53 hari). Satu tahun dalam kalender Masehi berjumlah 365 hari,
sementara dalam kalender Bulan 354 hari. Ada sisa 11 hari setiap tahunnya. Sisa
hari akan diakumulasikan sehingga pada tahun tertentu akan terjadi dua purnama
dalam sebulan.
Dari tahun 2009 hingga tahun 2021 dengan mengacu definisi
Blue Moon pada Maine Farmers ‘Almanac (artinya bulan purnama ketiga dalam musim
empat bulan bulan purnama), bulan biru telah terjadi atau akan terjadi pada 21
November 2010, 20 Agustus 2013, 21 Mei 2016, 18 Mei 2019, dan 22 Agustus 2021.
Berbeda dengan definisi yang pertama, istilah bulan biru sebagai dua bulan
purnama dalam satu bulan (yang kedua merupakan bulan biru) akan terjadi pada
tanggal 2 dan 31 Juli 2015, tanggal 2 dan 31 Januari 2018, tanggal 2 dan 31
Maret 2018, serta tanggal 1 dan 31 Oktober 2020. (*
(*ayin, rubrik telah majalah Zenith edisi XI,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar