Judul Buku : Running for Hope
Penulis : Dona Sikoembang
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Februari 2013
Tebal : viii + 236 halaman
ISBN :978-602-7888-15-9
ketika kenyataan hidup tidak lah sama dengan harapan, perjuangan adalah satu-satunya upaya untuk merubah semuanya. Begitulah yang akan ditampilkan dari sosok Monna dalam novel Running for Hope karya Dona Sikoembang.
ketika kenyataan hidup tidak lah sama dengan harapan, perjuangan adalah satu-satunya upaya untuk merubah semuanya. Begitulah yang akan ditampilkan dari sosok Monna dalam novel Running for Hope karya Dona Sikoembang.
Kemiskinan bukanlah
suatu halangan menggapai cita-cita. Bagi Monna yang baru saja dinyatakan lulus
dari SMA bertaraf internasional begitu yakin bahwa dirinya mampu duduk di
bangku kuliah Universitas Indonesia. Keinginan mengubah keadaan ekonomi
keluarganya serta gelar Sarjana Hukum membuat Monna semakin keras kepala.
Namun, dari mana kedua orang tuanya mendanainya, bahkan untuk sekedar ikut tes
saja tak ada yang bisa diberikan. Penghasilan ayahnya sebagai tukang ojek dan
ibunya sebagai buruh jahit masih kurang untuk menghidupi keempat anak
perempuannya.
Sesaat, angin segar menghampiri Monna. Rani, teman SMAnya menawarkan gratis sebuah formulir UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Rani terlanjur membelinya dan dia berhasil mendapatkan beasiswa di Perguruan Tinggi. Jadi, daripada formulir tersebut terbuang sia-sia lebih baik Monna yang menggunakan kesempatan langka ini baginya (hlm. 21-22)
Selama ini Monna
berpikir bahwa kebahagiaan keluarganya akan mampu dia ciptakan dengan kehidupan
ekonomi yang layak. Semua salah, saat mengikuti UMPTN Monna tinggal beberapa
hari di rumah Rani yang sangat mewah. Semua serba kecukupan. Namun apa yang dia
rasakan, perlakuan orang tua Rani yang jauh berbada dengan keluarganya terhadap
tamu menyadarkan Monna akan sebuah kebahagiaan sejati. Monna tidak melihat
adanya keharmonisan dalam keluarga Rani. Sungguh menyesal baginya atas sikap
keras kepalanya terhadap orangtuanya untuk tidak mengikuti tes masuk Perguruan
Tinggi. Baginya, kemiskinan atau kekayaan itu tidak dilihat dari harta benda,
tetapi ternilai dari kebahagiaan serta kepuasan nurani.
Meskipun Monna
gagal masuk kampus impiannya, baginya sebuah cita-cita dan mimpi akan tetap
hidup. Dia yakin, suatu saat nanti akan duduk di bangku Universitas Indonesia.
Tuhan punya berjuta cara untuk membuat makhluknya mengerti akan alasan setiap
hal yang terjadi.
Kehidupan serba kekurangan membuatnya harus bekerja meringankan beban orangtua. Berbagai kerjaan mulai dia coba. Ketika itu dia pernah menjadi seorang penyiar radio swasta yang sedang berkembang di kotanya. Pernah juga menjadi seorang pramuniaga, hingga penjaga toko bahan material. Keuletannya merupakan salah satu modal mencapai sukses.
Dilema orang kecil yang sulit mendapatkan keadilan tak sedikit dia rasakan. Berbagai bentuk penipuan di tempat kerjanya merupakan rangkaian pengalaman pahit dalam hidupnya. Sebagai penyiar radio, dia tidak pernah digaji selama lima bulan. Sebagai pramuniaga, keterlambatan lima menit membuat gajinya berkurang dua puluh lima persen. Begitu pula ketika bekerja sebagai “sekretaris, manajer, dan akuntan” sebuah toko bahan material, dia merasakan tiada lagi kepercayaan dari pemilik toko kepada dirinya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Berbagai musibah yang terjadi terhadap dirinya dan keluarganya sejatinya semakin membakar semangat untuk kokoh berdiri. Kios kakaknya yang terbakar membuat dia dan semua keluarganya terpukul. Saat itulah Monna kembali mengenakan hijab seperti masa sekolah. Dia menyesal karena melepasnya setelah tamat SMA. Sebuah seruan kuat berasal dari lubuk hatinya terdalam dan senantiasa menuntutnya untuk menunaikannya(hlm. 121-122).
Kegilaan Monna terhadap setiap aroma pendidikan tetap diperankan dengan baik. Dengan setia dia mendampingi adik bungsunya, Upi, dalam pendidikannya. Dia berhasil membimbing Upi memasuki sekolah berstandar internasional di kota. Monna mengubur semua impiannya untuk kuliah, dan sekarang meletakkan harapan yang sungguh besar pada masa depan Upi.
Semangat Monna yang kuat tergambar di dalam diri Upi untuk menggapai cita-citanya. Monna bertekad, kesenduan yang dulunya dirasakan dirinya tidak boleh terulang pada Upi. Monna selalu mendukung setiap keputusan yang diambil oleh Upi tanpa harus memaksanya menajdi pengacara yang bergelar Sarjana Hukum seperti mimpinya dahulu.
Singkat cerita, Upi diterima sebagai calon mahasiswa jurusan terfavorit di Institut Pertanian Bogor, departemen Teknologi Pangan, fakultas impiannya. Dia lah Upi, sang adik yang akan menjadi seorang sarjana dan gelar pertama dalam rentetan panjang sejarah keluarga Monna. Sejatinya, Upi telah menebus mimipi Monna yang pernah menguap kembali menjadi realita (hlm. 160-162).
Dan tidak hanya itu, kerja keras Monna selama ini benar-banar mampu menebus mimipinya. Dia bukan lagi seorang penjaga toko material. Dia adalah salah satu penggerak dan penggiat pendidikan bagi kaum-kaum terabaikan. Seperti mimpinya, dia mampu berada di salah satu ruang auditorium Universitas Indonesia. Bukan sebagai mahasiswa, melainkan pemberi ceramah atas undangan mereka. Begitu pula Upi, dia akan segera mendapatkan gelar masterdari Yale University, Amerika Serikat, kampus yang menjadi impian berikutnya ketika masih berkuliah di IPB. Semua diraih dengan cara yang sama, yaitu beasiswa.
Novel setebal 235 halaman ini sangat inspiratif. Menggambarkan sosok yang tiada berhenti menemukan arti keberhasilan. Dengan tata bahasa yang apik dan alurnya yang simpel, novel ini sangat menggugah. Satu pesan yang diberikan penulis adalah janganlah kau abaikan mimpimu, karena mimpi-mimpimu adalah kunci kesuksesanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar