Kamis, 17 April 2014

Pengertian, Teknik, dan Faktor Ru'yatul Hilal

         
           Pada tataran praktis kehidupan masyarakat dalam penetapan awal bulan Kamariah, khususnya untuk bulan-bulan isbadah seperti Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sering dijumpai perbedaan, baik antara organisasi masyarakat, pemerintah dengan organisasi masyarakat, bahkan antar negara. Perbedaan pelaksanaan awal bulan dari ketiga bulan tersebut selalu berulang walau tidak dalam waktu yang periodik.
Bagi sekelompok ummat, awal bulan Kamariah wajib ditentukan dengan ru’yah, artinya ru’yah terhadap hilal awal bulan. Untuk menentukan awal  bulan berikutnya, ru’yah dilakukan saat setelah akhir hari ke-29  bulan tersebut. Jika berhasil melihat Bulan sabit, maka malam itu dan esok harinya dimulailah awal bulan berikutnya. Jika tidak berhasil atau hilal terhalang oleh awan atau selainnya, maka hitungan hari bulan tersebut digenapkan 30 hari.
Secara harfiah, ru’yah berarti melihat. Arti yang paling umum adalah melihat dengan mata kepala. Sedangkan ru’yah al-hilal berarti melihat atau mengamati hilal pada saat Matahari terbenam menjelang awal bulan Kamariah dengan mata atau alat bantu seperti teropong. Dalam ilmu Astronomi, ru’yah dikenal dengan observasi. Sebagai sebuah metode penentuan awal bulan Kamariah, kelompok pendukung ru’yah berdasar pada beberapa hadits Nabi saw, diantaranya:

حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنى الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال أخبرنى سالم بن عبد الله بن عمر أن ابن عمر رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله ص م يقول : إذا رأيتموه فصومو وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروله (رواه البخارى)

أخبرنى قتيبة قال حدثنا أبو الألوص عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس قال : قال رسول الله ص م : صوموا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخارى)

Menurut Syihabuddin al-Qalyubi, hadits-hadits hisab ru’yah di atas mengandung sepuluh interpretasi yang beragam, diantaranya:
1.      Perintah puasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas semua orang yang tidak melihatnya.
2.      Melihat disini melalui mata.
3.      Melihat secara ilmu bersifat mutawatir dan merupakan berita dari orang yang adil.
4.      Nash tersebut mengandung juga makna dzan.
5.  Ada tuntutan puasa secara kontinyu jika terhalang pandangan atas hulal manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.
6.   Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun menurut ahli Astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.
7.      Perintah hadis tersebut ditujukan kepada kaum Muslim secara menyeluruh. Namun pelaksanaan ru’yah tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan hanya perseorangan.
8.      Hadits ini mengandung makna berbuka puasa.
9.      Ru’yah itu berlaku untuk hilal Ramadhan dalam kewajiban puasa, bukan untuk iftharnya.
10.  Yang menutup pandangan ditentukan hanya oleh mendung, bukan selainnya.

Ru’yah hilal untuk mengetahui pergantian bulan, khususnya mengetahui awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dapat digunakan dengan menggunakan teropong, theodolit, gawang lokasi, hingga rubu’ mujayyab.
Dalam melakukan ru’yah, baik menggunakan teropong dan sebagainya, secara teknis di lapangan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan diantaranya sebagai berikut:
a.   Membentuk tim ru’yah yang terdiri dari unsur pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota), Ormas Islam, tokoh agama, dan unsur masyarakat lainnya.
b.  Menentukan lokasi ru’yah, apakah di dataran tinggi/perbukitan, atau di pinggir pantai. Yang penting bahwa lokasi ru’yah merupakan tempat yang bebas halangan untuk memandang ke arah Barat dalam rangka melihat hilal.
c.    Melakukan hisab awal bulan untuk menetahui waktu dan posisi Matahari terbenam, posisi dan ketinggian hilal pada saat Matahari terbenam, dan lama hilal di atas ufuk.
d.  Memasang alat bantu ru’yah yang diperlukan sesuai posisi hilal yang akan diamati dalam perhitungan.
e.   Menyusun laporan ru’yah dan menyampaikan kepada pemerintah (Kementerian Agama) untuk selanjutnya diteruskan kepada pemerintah pusat. 

Ada beberapa faktor atau masalah didalam melakukan observasi Bulan bagi penentuan awal bulan Kamariah, yaitu:
1. Kecermatan Perukyah
Faktor pertama adalah faktor dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman hilal yang baik, tingkat pengamatan yang baik, serta kepekaan mata orang yang melihat hilal, bahkan faktor psikologis peru’yah akan menjadi faktor keberhasilan hilal dapat terlihat.
Hasil pengamatan hilal sangat terpengaruh oleh kecermatan peru’yah. Semakin cermat peru’yah maka tingkat kesalahan yang terjadi semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, ketidakcermatan seorang peru’yah akan semakin memperbesar tingkat kesalahan hasil pengamatan.
Penggunaan program dan software ilmu Falak juga memerlukan kecermatan, terutama dalam memasukkan data-data astronomis dalam proses perhitungan awal bulan Kamariah, begitu pula data-data astronomis tempat pelaksanaan ru’yah.

2. Tempat rukyah dan Iklim (Cuaca dan Atmosfer)
Pada dasarnya, tempat yang baik untuk ru’yah adalah tempat yang memungkinkan pengamat dapat mengadakan observasi di sekitar tempat terbenamnya Matahari. Pandangan pada arah itu sebaiknya tidak terganggu, sehingga ufuf ataau horizon akan terlihat lurus pada daerah yang mempunyai azimuth 240s/d 300o. Daerah itu diperlukan terutama jika observasi Bulan (hilal) dilakukan sepanjang musim dengan mempertimbangkan pergeseran Matahari dan Bulan dari waktu ke waktu.
Adanya awan tebal di ufuk Barat akan sangat menyulitkan terlihatnya hilal. Kesulitan ini relatif akan semakin besar terjadi di Indonesia yang berada pada wilayah tropis dengan curah hujan yang tinggi. Faktor atmosfir memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan ru’yah karena atmosfir Bumi akan memantulkan cahaya Matahari yang menimpanya.
Setidaknya, bersihnya langit dari awan, kabut, ataupun cahaya kota di sekitar arah terbenamnya Matahari merupakan persyaratan yang sangat penting untuk dapat melakukan observasi pada suatu saat tertentu.

3. Penunjuk Waktu
Pada dasarnya semua benda langit mempunyai pergerakan, baik pergerakan sendiri maupun pergerakan semu. Oleh sebab itu kalau kita menyatakan letak/posisi benda langit, itu berarti kita menyatakan posisi benda tersebut pada waktu tertentu. Dengan demikian, seorang pengamat yang baik harus memiliki penunjuk waktu yang baik pula. Untuk menyesuaikan jam pribadi, kita bisa menepatkan jam dari RRI. Selain itu, kita bisa juga memakai jam pada GPS.

4. Cahaya Bulan Sabit (termasuk dalam                     Visibilitas Hilal)
Bulan, benda langit yang akan diamati adalah sebuah benda yang tidak memiliki cahaya sendiri. Cahaya yang terlihat oleh kita adalah bagian Bulan yang tersinari oleh Matahari.
Kondisi iluminasi Bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon yang berdasakan ekstrapolasi data pengamatan. Pada tahun 1931, Andre Danjon sewaktu menjadi direktur Observatorium Strasbourg merasa tertarik untuk menyelidiki lengkungan sabit Bulan. Pada tanggal 13 Agustus dia melihat Bulan yang berumur 16 jam 12 menit setelah konjungsi. Dengan teropong refraktor yang bergaris tengah 3 inci pada perbesaran 25 kali, sabitnya terlihat kurang dari 75o s/d 80o dari ujung ke ujung. Pengamatan dan catatan lain juga menunjukkan persoalan yang sama, bahwa berkurangnya sabit itu semakin kecil sementara jarak sudut Bulan – Matahari bertambah besar.
Dengan mengumpulkan sekitar 50 potret Bulan sabit yang berbeda-beda, Danjon mendapatkan besarnya sudut batas visibilitas, yaitu 7o. Beberapa peneliti kemudian berusaha untuk menggabungkan berbagai variabel dalam menentukan kriteria visibilitas hilal, seperti tinggi hilal, umur hilal, dan beda azimuth.

Dengan adanya berbagai faktor yang kedudukannya sangat vital ketika pelaksanaan ru’yatul hilal berlangsung, sudah seharusnya menjadi pertimbangan kita bersama bahwa penerimaan hasil ru’yah setidaknya mencapai standar yang ilmiah. Dengan kata lain bahwa ru’yah pun harus memenuhi kriteria astronomis yang berkembang saat ini.
Secara umum, keterbatasan peru’yah dalam melakukan observasi mengharuskan kita untuk lebih hati-hati dalam menerima hasil ru’yah. Faktor geografis atau tempat ru’yah perlu dipertimbangkan dalam menerima persaksian hilal. Oleh karena itu, usaha sertifikasi tempat ru’yah mempunyai peranan yang penting dalam meminimalisir kesalahan hasil ru’yah.
Usulan untuk menjadikan perkembangan teknologi mutakhir sebagai salah satu alternatif pemecahannya perlu dijadikan ‘tema utama’ dalam pengembangan keilmuan kita. Farid Ruskanda dan Zalbrawi Soejoeti misalnya mengusulkan beberapa teknologi alternatif, seperti sistem teleskop cahaya (visible light), teleskop infra merah termal (radiasi panas). Keduanya disertai dengan penyempurnaan citra hilal dengan menggunakan komputer, dan dikombinasikan dengan perekaman video kamera televisi untuk keperluan penayangan langsung (live streaming). 


RUJUKAN:

A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi)I, Jakarta: Amzah, 2011.

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasyiyati as Sanadi, Beirut: Dar al-Kitab al-Islam, tt.

Azhari,  Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.

Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008.

Nashirudin, Muh., Kalender hijriah Universal, Semarang: EL-WAFA, 2013.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar