Bagi sekelompok ummat,
awal bulan Kamariah wajib ditentukan dengan ru’yah, artinya ru’yah terhadap
hilal awal bulan. Untuk menentukan awal bulan berikutnya, ru’yah
dilakukan saat setelah akhir hari ke-29 bulan tersebut. Jika
berhasil melihat Bulan sabit, maka malam itu dan esok harinya dimulailah awal
bulan berikutnya. Jika tidak berhasil atau hilal terhalang oleh awan atau
selainnya, maka hitungan hari bulan tersebut digenapkan 30 hari.
Secara harfiah, ru’yah berarti melihat. Arti yang
paling umum adalah melihat dengan mata kepala. Sedangkan ru’yah
al-hilal berarti melihat atau mengamati hilal pada saat Matahari
terbenam menjelang awal bulan Kamariah dengan mata atau alat bantu seperti
teropong. Dalam ilmu Astronomi, ru’yah dikenal dengan observasi. Sebagai sebuah metode penentuan awal bulan Kamariah, kelompok
pendukung ru’yah berdasar pada beberapa hadits Nabi saw, diantaranya:
حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنى الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال أخبرنى
سالم بن عبد الله بن عمر أن ابن عمر رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله ص م يقول
: إذا رأيتموه فصومو وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروله (رواه البخارى)
أخبرنى قتيبة قال حدثنا أبو الألوص عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس قال
: قال رسول الله ص م : صوموا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه
البخارى)
Menurut Syihabuddin al-Qalyubi, hadits-hadits hisab ru’yah di atas
mengandung sepuluh interpretasi yang beragam, diantaranya:
1. Perintah puasa berlaku atas semua orang yang
melihat hilal dan tidak berlaku atas semua orang yang tidak melihatnya.
2. Melihat disini melalui mata.
3. Melihat secara ilmu bersifat mutawatir dan
merupakan berita dari orang yang adil.
4. Nash tersebut mengandung juga makna dzan.
5. Ada tuntutan puasa secara kontinyu jika terhalang pandangan atas
hulal manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.
6. Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun
menurut ahli Astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.
7. Perintah hadis tersebut ditujukan kepada kaum
Muslim secara menyeluruh. Namun pelaksanaan ru’yah tidak diwajibkan kepada
seluruhnya bahkan hanya perseorangan.
8. Hadits ini mengandung makna berbuka puasa.
9. Ru’yah itu berlaku untuk hilal Ramadhan dalam
kewajiban puasa, bukan untuk iftharnya.
10. Yang menutup pandangan ditentukan hanya oleh mendung, bukan
selainnya.
Ru’yah hilal untuk mengetahui pergantian bulan, khususnya
mengetahui awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dapat digunakan dengan
menggunakan teropong, theodolit, gawang lokasi, hingga rubu’ mujayyab.
Dalam melakukan ru’yah, baik menggunakan teropong dan sebagainya,
secara teknis di lapangan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan diantaranya
sebagai berikut:
a. Membentuk tim ru’yah yang terdiri dari unsur pemerintah, dalam hal
ini Kementerian Agama (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota), Ormas Islam, tokoh
agama, dan unsur masyarakat lainnya.
b. Menentukan lokasi ru’yah, apakah di dataran tinggi/perbukitan,
atau di pinggir pantai. Yang penting bahwa lokasi ru’yah merupakan tempat yang
bebas halangan untuk memandang ke arah Barat dalam rangka melihat hilal.
c. Melakukan hisab awal bulan untuk menetahui waktu
dan posisi Matahari terbenam, posisi dan ketinggian hilal pada saat Matahari
terbenam, dan lama hilal di atas ufuk.
d. Memasang alat bantu ru’yah yang diperlukan sesuai posisi hilal
yang akan diamati dalam perhitungan.
e. Menyusun laporan ru’yah dan menyampaikan kepada pemerintah
(Kementerian Agama) untuk selanjutnya diteruskan kepada pemerintah pusat.
Ada beberapa faktor atau masalah didalam melakukan observasi Bulan
bagi penentuan awal bulan Kamariah, yaitu:
1. Kecermatan Perukyah
Faktor pertama adalah
faktor dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman hilal yang baik, tingkat
pengamatan yang baik, serta kepekaan mata orang yang melihat hilal, bahkan
faktor psikologis peru’yah akan menjadi faktor keberhasilan hilal dapat
terlihat.
Hasil pengamatan hilal
sangat terpengaruh oleh kecermatan peru’yah. Semakin cermat peru’yah maka
tingkat kesalahan yang terjadi semakin kecil. Begitu pula sebaliknya,
ketidakcermatan seorang peru’yah akan semakin memperbesar tingkat kesalahan
hasil pengamatan.
Penggunaan program dan software ilmu
Falak juga memerlukan kecermatan, terutama dalam memasukkan data-data
astronomis dalam proses perhitungan awal bulan Kamariah, begitu pula data-data
astronomis tempat pelaksanaan ru’yah.
2. Tempat rukyah dan Iklim (Cuaca dan Atmosfer)
Pada dasarnya, tempat
yang baik untuk ru’yah adalah tempat yang memungkinkan pengamat dapat
mengadakan observasi di sekitar tempat terbenamnya Matahari. Pandangan pada
arah itu sebaiknya tidak terganggu, sehingga ufuf ataau horizon akan terlihat
lurus pada daerah yang mempunyai azimuth 240o s/d 300o.
Daerah itu diperlukan terutama jika observasi Bulan (hilal) dilakukan sepanjang
musim dengan mempertimbangkan pergeseran Matahari dan Bulan dari waktu ke
waktu.
Setidaknya, bersihnya
langit dari awan, kabut, ataupun cahaya kota di sekitar arah terbenamnya
Matahari merupakan persyaratan yang sangat penting untuk dapat melakukan
observasi pada suatu saat tertentu.
3. Penunjuk Waktu
Pada dasarnya semua
benda langit mempunyai pergerakan, baik pergerakan sendiri maupun pergerakan
semu. Oleh sebab itu kalau kita menyatakan letak/posisi benda langit, itu
berarti kita menyatakan posisi benda tersebut pada waktu tertentu. Dengan
demikian, seorang pengamat yang baik harus memiliki penunjuk waktu yang baik
pula. Untuk menyesuaikan jam pribadi, kita bisa menepatkan jam dari RRI. Selain
itu, kita bisa juga memakai jam pada GPS.
4. Cahaya Bulan Sabit (termasuk dalam Visibilitas Hilal)
Bulan, benda langit yang
akan diamati adalah sebuah benda yang tidak memiliki cahaya sendiri. Cahaya
yang terlihat oleh kita adalah bagian Bulan yang tersinari oleh Matahari.
Kondisi iluminasi Bulan
sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon yang
berdasakan ekstrapolasi data pengamatan. Pada tahun 1931, Andre Danjon sewaktu
menjadi direktur Observatorium Strasbourg merasa tertarik untuk menyelidiki
lengkungan sabit Bulan. Pada tanggal 13 Agustus dia melihat Bulan yang berumur
16 jam 12 menit setelah konjungsi. Dengan teropong refraktor yang bergaris
tengah 3 inci pada perbesaran 25 kali, sabitnya terlihat kurang dari 75o s/d
80o dari ujung ke ujung. Pengamatan dan catatan lain juga
menunjukkan persoalan yang sama, bahwa berkurangnya sabit itu semakin kecil
sementara jarak sudut Bulan – Matahari bertambah besar.
Dengan mengumpulkan
sekitar 50 potret Bulan sabit yang berbeda-beda, Danjon mendapatkan besarnya
sudut batas visibilitas, yaitu 7o. Beberapa peneliti kemudian
berusaha untuk menggabungkan berbagai variabel dalam menentukan kriteria
visibilitas hilal, seperti tinggi hilal, umur hilal, dan beda azimuth.
Dengan adanya berbagai faktor yang kedudukannya sangat vital
ketika pelaksanaan ru’yatul hilal berlangsung, sudah seharusnya menjadi
pertimbangan kita bersama bahwa penerimaan hasil ru’yah setidaknya mencapai
standar yang ilmiah. Dengan kata lain bahwa ru’yah pun harus memenuhi kriteria
astronomis yang berkembang saat ini.
Secara umum, keterbatasan peru’yah dalam melakukan observasi
mengharuskan kita untuk lebih hati-hati dalam menerima hasil ru’yah. Faktor
geografis atau tempat ru’yah perlu dipertimbangkan dalam menerima persaksian
hilal. Oleh karena itu, usaha sertifikasi tempat ru’yah mempunyai peranan yang
penting dalam meminimalisir kesalahan hasil ru’yah.
Usulan untuk menjadikan perkembangan teknologi mutakhir sebagai
salah satu alternatif pemecahannya perlu dijadikan ‘tema utama’ dalam
pengembangan keilmuan kita. Farid Ruskanda dan Zalbrawi Soejoeti misalnya
mengusulkan beberapa teknologi alternatif, seperti sistem teleskop cahaya (visible
light), teleskop infra merah termal (radiasi panas). Keduanya disertai
dengan penyempurnaan citra hilal dengan menggunakan komputer, dan
dikombinasikan dengan perekaman video kamera televisi untuk keperluan
penayangan langsung (live streaming).
RUJUKAN:
A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi)I, Jakarta: Amzah, 2011.
Abi Abdillah Muhammad
bin Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi
Hasyiyati as Sanadi, Beirut: Dar al-Kitab
al-Islam, tt.
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1981.
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008.
Nashirudin, Muh., Kalender hijriah Universal, Semarang: EL-WAFA, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar